Menegaskan Makna “ Indonesia Kecil” dan “Bali Yang Lain”

Oleh: Raudal Tanjung Banua

Desember, penghujung tahun 2000 (waktu catatan ini dibuat—Penyunting), setidaknya menyuguhkan tiga moment perayan kepada kita: Natal, Idul Fitri dan Tahun Baru. Begitu pula bagi masyarakat Kabupaten Jembrana, hari-hari tersebut terasa istimewa. Tidak saja karena semarak pesta, tetapi lebih dikarenakan perayaannya di lapangan menemukan korelasi yang tepat dengan situsi Jembrana saat ini.

Betapa tidak. Sebagai daerah majemuk dengan pemeluk berbagai agama, perayaan hari raya keagamaan semacam Natal dan Lebaran mengandung spirit ‘kesatuan dan perbedaan’ yang dalam hal ini tidak berlebihan disebut Jembrana menjelma “Indonesia kecil”. Di tengah maraknya konflik antar umat beragama yang melenyapkan harapan aman dan damai, maka realitas “Indonesia kecil” akan menjadi modal utama bagi Jembrana untuk tidak ikut terseret ke dalam gelombang edan perpecahan hanya lantaran perbedaan (agama, pandangan atau pilihan). Perbedaan justru rahmat yang perlu disyukuri dan kenyataannya masyarakat Jembrana mampu untuk itu.

Sebaliknya, sebagai daerah yang tidak terlalu banyak mendapat jatah dari kue pariwisata, perayan Tahun Baru yang identik dengan gebyar dan gemerlapnya pesta – apalagi jika dikaitkan dengan Bali – Jembrana boleh jadi telah menjelma “Bali yang lain”. Yakni, Bali yang hening, tidak riuh, bahkan boleh jadi sunyi, di tengah hiruk pikuk pesta Tahun Baru yang diadakan tetangganya yang bergelar “daerah wisata” itu, sebab kenyatannya memang daerah-daerah inilah yang menjadi incaran banyak orang untuk tujuan pesta Tahun Baru. Sementara Jembrana hanya menjadi daerah lintas, dengan Gilimanuk yang sesak dan padat sebagai sebatas “gerbang utama” Bali. Tetapi, justru inilah “Bali yang lain” itu: keheningan yang membuat renungan dan refleksi bisa lebih kritis dan mendalam!

Dari dua analog di atas, kita bisa menempatkan Jembrana dalam dua sisi kesadaran, bagai dua mata uang yang akan saling mendukung. Pertama, kesadaran Jembrana akan kondisi dirinya yang majemuk, bahkan tidak hanya dalam hal beragama, tetapi juga pilihan, latar etnik, watak, tata cara dan seterusnya. Untuk memahaminya tidak bisa sebatas mencerna kenyataan hari ini, tetapi juga perlu menyelusuri akar sejarah. Setidaknya dari sana kita tahu bahwa di Kabupaten Jembrana (dari Gumbrih sampai ke Gilimanuk) terdapat desa-desa dengan asal-usul yang berbeda, seperti Loloan yang berasal dari Suku Bugis-Makasar dan Melayu, Gilimanuk dan Palarejo dari Jawa, dan seterusnya (termasuk orang Jembrana pun, konon orang “buangan” dari pusat kerajaan) tetapi dapat hidup berdampingan secara damai. Begitu pula dalam hal pilihan, misalnya secara politis, partai apa saja bisa dipilih, sehingga suara tidak harus tunggal. Kondisi yang beragam ini diharapkan tidak menimbulkan perpecahan, justru karena kondisi inilah seharusnya segenap warga Jembrana bersatu-padu, sebagai mana ditunjukkan para pendahulu. Perpecahan (kalau bisa disebut begitu) yang tersirat dari kasus pemilihan bupati dulu misalnya, semoga tidak sampai ke inti, tetapi dimaknai sebagai dinamika demokrasi. Lebaran, Natal dan Tahun Baru memberi ruang bagi suatu renungan merancang “Indonesia kecil” di bumi makepung ini.

Kedua, kesadaran Jembrana akan posisi dirinya. Perayaan Tahun Baru yang sulit dikemas dalam paket (kunjungan) wisata dan semaraknya (perayaan) pesta, diharapkan tidak membuat kita berkecil hati tetapi justru menyadari potensi lain dari tanah Bali Barat ini. Daerah lain di Bali boleh jadi menguber Dolar dari berkah pariwisata yang salah-salah mengorbankan tanah dan sanggah, tetapi Jembrana bisa berbenah dengan posisinya yang masih memiliki ruang lapang untuk rencana ke depan. Disaat daerah lain berhadapan dengan problem sesaknya tata ruang, Jembrana bisa belajar untuk menata segalanya lebih baik. Artinya, tidak harus pariwisata kalau dari pertanian dan perikanan misalnya, daerah ini bisa berbenah. Istilah DS. Putra, tidak apa Jembrana menjadi “limbah pariwisata” (dalam arti positif) daripada memaksakan diri menjadi “pusat pariwisata” tetapi tidak becus. Dengan demikian, “Bali yang lain” yang saya maksudkan tidak hanya sebatas urusan perayaan Tahun Baru yang relatif tidak semeriah daerah lain yang diserbu pengunjung itu, tetapi juga berbeda dalam hal pilihan, konsep dan tawaran.

Dengan Natal, Idul Fitri dan Tahun Baru kita boleh bangga sebagai “Indonesia kecil” dan “Bali yang lain”.**

Raudal Tanjung Banua, budayawan kelahiran Padang – Sumatera Barat, kini tinggal di Yogya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar