Kisah Natal, Lebaran dan Tahun Baru di Bali Kauh

(Tentang Pluralitas Jembrana atawa “Indonesia Kecil”)
Oleh: Raudal Tanjung Banua

SEBUTAN “Indonesia kecil”, rasanya tidak berlebihan dilekatkan kepada Kabupaten Jembrana, dalam konteks pluralitas.

Ya, Jembrana adalah “Indonesia kecil”, jika Indonesia diyakini sebagai negara yang terdiri dari berbagai agama, suku-bangsa dan perbedaan lainnya, maka di kabupaten Jembrana, hal tersebut dapat dirasakan, apalagi pada perayaan Natal, Lebaran dan Tahun Baru.

Datanglah ke Desa Ekasari; Kecamatan Melaya, maka “Indonesia kecil” itu terasa nyata. Desa yang terdiri dari sepuluh banjar itu tidak hanya ditempati umat Hindu, tetapi juga umat Khatolik di Banjar Palasari. yang tanggal 25 Desember 2000 (saat catatan ini dibuat—Penyunting) merayakan Natal; sementara di Dusun Palarejo yang dirintis Khatijah, bermukim umat Islam yang tengah menjalankan ibadah puasa, dan tanggal 27-28 Desember merayakan Lebaran pula. Di Blimbingsari, desa yang berbatasan langsung dengan Ekasari, terdapat umat Protestan yang juga merayakan Natal. Setelah itu mereka akan bersama-sama menyambut kedatangan Tahun Baru: 2001.

Memasuki Palasari, penjor-penjor khas Bali tampak anggun berdiri, mengisyaratkan penyambutan Natal tahun ini. Sepanjang hari, orang-orang sibuk menghias pohon Natal, dan begitu pula malam tiba, bertaburlah cahaya lilin dan lampu-lampu Natal menyerupai taburan bintang—mengisyaratkan hati yang damai. Lonceng yang bergema dari sebuah Gereja tua menjadi panggilan iman bagi seisi dusun untuk datang berbondong melaksanakan misa hari pertama, untuk keesokan harinya dilanjutkan misa berikutnya. Demikian pula di Belimbingsari, umat Protestan mengalir ke gereja begitu suara kulkul (mereka tidak menggunakan lonceng), bertalu. Suasana tampak khusuk dan khidmad, sementara di Dusun Palarejo, tempat umat Islam bermukim, di sebuah masjid di batas desa, juga sedang berlangsung sholat Taraweh sebagai bagian ibadah Ramadhan. Dan, di sisi lain, umat Hindu mungkin saja sedang sembahyang dan berupacara di sanggah dan puranya…

Terasa sekali betapa suasana yang terbangun adalah suasana “Indonesia kecil” yang diharapkan menjelma ke dalam ruh “Indonesia besar”, yakni tanah air yang saat ini penuh konflik dan pertikaian (kita teringat Maluku, lalu tersintak oleh ledakan bom dihari Natal). Di Palasari dan sekitarnya, damai masih dapat diraih. Tentu, suasana ini telah terbangun dari tahun ketahun, jauh semenjak Pastur Simon Buis, SVD dari Tuka, Badung, datang ke Malaya bersama 24 jemaahnya, membuka hutan Pangkung Sente, dan mendirikan perkampungan. Angka tahun merujuk 1942, demikian Drs. YP. I Gusti Ng, Windra Astika, seorang anggota dewan gereja, bercerita. Dan pada tahun 1947, sekembalinya dari pembuangan (Simon Buis pernah dibuang tentara Jepang ke Sulawesi), pastur kharismatik itu kembali membuka lahan seluas 200 hk di seberang Sungai Sangiang gede. Mereka bahkan berhasil mendirikan gereja yang megah dengan arsiteknya seorang Bali-Hindu, Ida Bagus Togur dan seorang Eropa, Bruder Ignes de Vreize, sehingga terciptalah gereja berpaduan Gothik-Bali yang sangat indah. Di gereja Khatolik “Hati Kudus Yesus” itulah setiap tahunnya perayaan Natal dan Ekaristi dilangsungkan, dalam suasana damai…

Sedangkan di Belimbingsari perayaan Natal dimeriahkan pertandingan bola voli antar warga dan paguyuban yang ada di perantauan. Misa dipusatkan di gereja “Protestan Jemaat Belimbingsari, sebuah gereja yang memiliki sejarahnya sendiri. Tahun 1939 sebanyak 30 orang jemaat membuka lahan sebagai cikal-bakal Desa Belimbingsari, dan tahun 1955 berdirilah gereja Peniel yang tak kalah indahnya, seindah persaudaraan yang terbina antar-pemeluk agama di sana.

Suasana persaudaraan itu ternyata masih terasa kental pada perayaan Natal dan Lebaran tahun ini. Tentu tidak hanya di Palasari dan sekitarnya, tetapi juga di wilayah lain di Kabupaten Jembrana, seperti di Loloan yang mayoritas Islam, suasana Lebaran telah terasa begitu datang bulan Ramadhan. Mushala dan masjid serta pondok pesantren marak oleh kegiatan Ramadhan; taraweh, wirid, tadarus, pengajian dan ritual lainnya. Ngotek, merupakan tradisi yang cukup khas, di mana anak-anak muda berkeliling kampung dengan alat musik sederhana membangunkan orang-orang yang akan sahur.

Saat Lebaran, suasana semakin marak saja oleh gema takbir dan tahmid baik yang digemakan dari menara maupun di jalan-jalan. Masjid Baitul Qodim yang didirikan tahun 1679 – sebagai simbol kemajemukan sejak lama – dijadikan start bagi rombongan takbir keliling kampung. Mereka menghias dokar sedemikin rupa, membawa bedug dan obor sambil bertakbir, serta kreasi lainnya yang mencerminkan kebebasan dan ekspresi suatu komunitas. H.Musadat Djohar, tokoh pemuda dan ketua Sanggar Pilot di Loloan Timur merupakan salah seorang penggerak yang dari tahun ke tahun bersetia dengan tradisi takbir keliling secara sederhana namun khidmat dan khusuk.

Sisi Lain Perayaan
Tetapi di sisi lain, tidak jarang pula terdengar letusan petasan yang memekakkan, raungan motor yang konvoi menguasai jalan, sehingga suasana takbir seperti tenggelam ke dalam hiruk-pikuk…

Itu artinya, senantiasa ada fenomena lain – yang belum tentu positif – di tengah tradisi yang coba dijaga dan dipertahankan. Maka, kalau ada yang perlu dikritisi dan digarisbawahi dari perayaan Natal dan Idul Fitri tahun ini, adalah berbagai fenomena dan wacana yang belakangan ini tampak mewarnai komunitas pemeluk agama. Letusan petasan dan konvoi yang ugal-ugalan (bagai kampanye saja layaknya) pada saat malam Idul Fitri jelas tidak simpatik bagi terciptanya kenyamanan dan ketentraman. Ironisnya, fenomena inilah yang digandrungi banyak orang, sementara yang tertarik dengan dokar dan bedug hias yang dibawa berjalan kaki (yang jelas lebih khidmat dan khusuk) hanya diikuti oleh rombongan orang dalam jumlah hitungan jari.

“Saya selalu menyempatkan pulang kampung ke Loloan setiap Lebaran, salah satunya karena tak mau ketinggalan pawai beduk hias pada malam takbiran. Sayang, suasana itu sudah berubah, konvoi kendaraan sangat galak, kadang-kadang pakai lemparan mercon segala, sehingga awak takut dibuatnya”, Kata Nur Wahida Idris yang saat ini tinggal di Yogyakarta, dan dibenarkan Mahali, rekannya. Hal senada juga diungkapkan warga lain yang merasa lebih bahagia merayakan malam takbir dengan obor dan bedug hias. Persoalannya, adakah kita semakin bijak dan petugas bisa bertindak tegas? Entahlah.

Lain lagi yang dialami umat Kristen di Bali yang belakangan mendapat gugatan cukup riskan: simbol-simbol dan nama-nama yang berbau Hindu minta diganti, seperti Widyapura atau Swastiastu. Meski gugatan itu dilakukan secara relatif, tapi telah berakibat munculnya rasa “was-was” di kalangan umat Kristen dan terpaksa mengganti nama-nama tersebut. Hal ini juga dirasakan komunitas Kristen di Palasari dan sekitarnya yang tidak lagi merasa bebas memakai simbol-simbol Bali. Dalam perayaan tahun ini misalnya, pakaian Bali dengan udeng-nya, sudah tidak banyak lagi dipakai, sehingga terasa ada ciri khas yang bakal hilang. Sebagai wacana ,”gugatan” semacam itu tentu tidaklah buruk, asal saja dapat dituntaskan dan dipertanggungjawabkan. Sayangnya, wacana itu dibiarkan mengambang, padahal konon, menurut Aloysius Tuen Lazar, salah seorang pemuda Khatolik Palasari, mereka sudah berusaha meminta penjelasan seputar wacana itu kepada pakar Hindu, namun tidak terjawab hingga kini. Adalagi yang perlu mendapat perhatian di Palsari: hampir setiap Natal, kalau tidak listrik, air PAM yang mati, tampa ada kejelasan dari pihak pengelola.

“Natal kali ini air PAM macet, tahun kemarin listriknya mati,” keluh seorang warga yang tidak mau menyebutkan namanya. Tentu berharap jangan sampai itu menjadi preseden buruk apalagi sampai dianggap “sabotase”. Bagaimanapun kerukunan dan kedamaian harus tetap yang utama.

Nilai-Plus
Kerukunan dan kedamaian memang merupkan kata kunci bagi Jembrana untuk menyatukan segenap potensi dan keanekaragaman ke dalam energi persatuan, sehingga secara konsepsi “Indonesia kecil” boleh jadi akan melahirkan konsep-konsep indah lainnya, seperti konsep “nyama Bali” yang sudah terbina sejak lama. Natal dan Idul Fitri, sebagaimana juga Nyepi, Galungan dan perayaan keagamaan lainnya, bukankah menuntut kita untuk mengaktualkan nilai persaudaraan dan kebersaman?

Dan tahun Baru 2001 memberi tantangan untuk itu. Bagi Jembrana, kita optimis tantangan itu dapat dijawab secara arif dan dewasa, sebab bukankah perayan tahun Baru di daerah ini relatif hening, jauh dari gebyar dan gemuruh pesta seperti di kawasan wisata itu? Inilah nilai plus dari Jembrana, meski minus pesta dan pendatang yang, merayakannya, tetapi bolehlah applus untuk ruangan hening yang ditawarkannya.**

Raudal Tanjung Banua
Budayawan kelahiran Padang-Sumatera Barat
Kini tinggal di Jogja



2 komentar:

Anonim mengatakan...

Segala yang lain di Jembrana memang harus dilihat secara keseluruhan. Tak mesti tercengang-cengang karena semuanya adalah wajar...

Salut untuk Jembrana...! karena disinilah Bali yang lain tersirat dan tersurat.. Gong Ci Fat Cai to Jembrana.

Anonim mengatakan...

Perbedaan adalah sebuah warna

Posting Komentar